PARA siswa peserta Seminggu Bersama Keluarga Kemenkeu (SBKK) dan
Sabang Merauke berkumpul bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung BPPK, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (13/7/2018).
FOTO: KEMENKEU.GO.ID
|
MENTERI Keuangan, Sri Mulyani tampak tersenyum mendengarkan
pengalaman sejumlah siswa SMP yang mengikuti program Seminggu Bersama Keluarga
Kemenkeu (SBKK) dan Sabang Merauke di Gedung BPPK, Kemenkeu, Jakarta, Jumat
(13/7/2018). Program SBKK dan SabangMerauke adalah sebuah program hidup bersama
(live in) keluarga yang berbeda keyakinan dengan siswa. Khusus untuk program
SBKK, siswa yang berasal dari seluruh Indonesia ini tinggal bersama pejabat
eselon I dan II Kemenkeu yang berbeda keyakinan.
Dikutip dari kumparan.com (Jumat, 13 Juli 2018), pengalaman
seorang siswa yang membuat Sri tersenyum datang dari Iliyatul, seorang siswi
asal Bulukumba, Sulawesi Selatan. Siswa kelas IX SMP yang beragama Islam itu
menceritakan, sebelum mengikuti program SabangMerauke, dia percaya bahwa
mendatangi gereja sama saja seperti dipaksa keluar agama Islam.
Selama mengikuti program tersebut, Iliyatul tinggal
bersama pejabat Kemenkeu yang bernama Yustinus, seorang yang beragama Katolik.
Dia mengaku sempat ragu untuk tinggal bersama keluarga yang bukan muslim. Saat
itu Iliya diajak ke gereja untuk melihat bagaimana keluarga Yustinus menjalankan
ibadahnya. Tapi setelah melihat sendiri, ternyata tidak seperti yang
dikhawatirkan Iliyatul. Keluarga Yustinus menjalankan ibadahnya seperti biasa.
Ketakutan Iliyatul dulu tidak benar. Iliyatul pun mengetahui, tidak benar kalau
ke gereja itu dipaksa keluar dari Islam.
SBKK merupakan program Kemenkeu yang bertujuan mendorong
kesadaran persatuan dan kesatuan dalam jiwa anak muda. Hal ini dikarenakan sekarang
ini banyak anak muda yang masih memetakkan suku, budaya, dan agama di
Indonesia. Melalui program SBKK ini, Kemenkeu menjaring puluhan siswa SMP dari
berbagai wilayah di Indonesia untuk tinggal di rumah pejabat Kemenkeu selama
seminggu. Selama program berlangsung, mereka didampingi para "Kaka"
yang merupakan mahasiswa PKN STAN.
Menurut Sri Mulyani, saat ini, untuk mencintai tanah
air, amak muda perlu latihan dari sejak dini. Adapun latihan yang dilakukan
adalah hidup bersama. Dengan hidup bersama keluarga yang berbeda kepercayaan
dengan mereka, diharapkan para para siswa akan saling menghargai dan mencintai
perbedaan, khususnya perbedaan keyakinan.
Menjaga
Pondasi Keberagaman
Saat ini, persoalan radikalisme masih menjadi
ancaman serius bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Persoalan radikalisme ini
menjadi ancaman karena paham ini identik dengan kekerasan yang sering mengatasnamakan
agama. Bukan sekali dua kali kita melihat praktik-paktik intoleran di negeri
ini dan membuat kacau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang beragam.
ILUSTRASI keberagaman Indonesia. FOTO: OKEZONE.COM |
Mereka menghendaki Indonesia menerapkan sistem
khilafah, seperti yang telah dilakukan oleh ISIS di Suriah dan Irak. Padahal
pendiri bangsa ini yang terdiri dari berbagai agama telah meneguhkan hati untuk
menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang agung dan melindungi
keberagaman bangsa dan negara dari Sabang sampai Merauke.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) merupakan harga mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Negara Indonesia dibangun di atas pondasi keberagaman mulai agama, etnis,
dan budayanya dalam bentuk persatuan dan kesatuan. Pondasi keberagaman inilah
yang kini diserang dengan berbagai cara.
Upaya-upaya melemahkan NKRI melalui penyerangan pondasi
keberagaman ini tentu saja harus diwaspadai dan dilawan sejak dini. Menghargai
keberagaman adalah kunci dari melawan upaya pelemahan NKRI ini. Jika melawan
sejak dini, maka pelaku utama dalam hal ini adalah generasi muda mulai dari tingkat
SD, SMP, dan SMA.
Satuan pendidikan atau sekolah menjadi tempat yang
paling efektif untuk mendidik generasi muda agar menghargai keberagaman ini.
Tapi melihat begitu kompleksnya tugas dan tanggungjawab sekolah, logiskah bila
pekerjaan besar ini hanya dibebankan kepada sekolah saja? Jawabannya, TIDAK. Ada
lembaga lain yang juga bertanggungjawab dalam hal ini yakni keluarga.
Peran Strategis
Keluarga Melawan Radikalisme
Selama ini, keluarga sebagai lembaga nonformal di
luar sekolah sudah mempunyai peran yang strategis dalam mendidik anak sebagai
generasi penerus bangsa yang menghargai keberagaman, serta melawan radikalisme
dan intoleransi. Mengutip dari https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=galery/infografis , ada beberapa
trik bagi para orangtua untuk menangkal radikalisme dan intoleransi SARA (Suku,
Agama, Ras, Antar Golongan) pada anak dan remaja.
Trik tersebut antara lain: menanamkan nilai
kebhinnekaan kepada anak-anak sebagai sesuatu kekuatan bangsa Indonesia di mata
dunia. Contohnya memperkenalkan kekayaan budaya di negara Indonesia, adat
istiadat, karakteristik agama yang dianut, busana daerah, bahasa daerah, rumah
adat, dan sebagainya. Trik lainnya adalah merayakan hari besar budaya dan agama
yang dianut. Melalui momen spesial ini, anak dapat diajarkan nilai-nilai luhur
dari aktivitas perayaan hari besar agama dan etnis yang dianutnya. Begitupun
anak perlu untuk menghormati hari besar budaya dan agama lain. Caranya adalah
dengan membuat aktivitas prakarya kartu ucapan untuk diberikan kepada teman
yang sedang merayakan.
Setahun belakangan, peran keluarga ini pun sudah
dikuatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No
30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan.
Permendikbud ini terbit dengan latarbelakang bahwa pelibatan
keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan adalah hal penting dan strategis
dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. Hal pelibatan keluarga dalam pendidikan, memerlukan pola kerjasama
yang saling mendukung antara penyelenggara pendidikan, keluarga dan masyarakat.
Permendikbud ini diundangkan di Jakarta dalam Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1378 oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan
Kemenkumham RI Widodo Ekatjahjana.
Lalu, dengan keberadaan Permendikbud dan pentingnya
peran keluarga ini, solusi apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara
pendidikan, keluarga, dan masyarakat jika dikaitkan dengan kerangka merawat
keberagaman dan mempertahankan NKRI?
Solusinya adalah keluarga dan masyarakat harus
terlibat secara langsung sebagai wadah yang mendidik siswa tentang keberagaman.
Proses mendidik ini dapat dilakukan melalui program hidup bersama (live in)
seperti yang telah dilakukan oeh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui
program SBKK. Program SBKK milik Kemenkeu ini bukanlah satu-satu program hidup
bersama yang mengajarkan pendidikan keberagaman bagi para siswa. Di Jakarta,
ada program SabangMerauke
SabangMerauke adalah program pertukaran pelajar
antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi.
Dalam program ini, siswa dari seluruh Indonesia akan tinggal dengan keluarga
yang berbeda dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda. Setelah kembali
ke daerahnya, mereka akan menjadi duta perdamaian di daerah masing-masing.
Kemudian di Sumatera Utara, ada Kursus Pendidikan
Agama (KPA) yang diprakarsai oleh Jama’ah Muslim Ahmadiyah Medan. Program KPA
ini merupakan program tabayyun ke tempat-tempat ibadah yang berbeda. Selain itu
program ini juga berisi diskusi perbandingan agama dengan menghadirkan
pemuka-pemuka agama. Tabayyun secara bahasa adalah mencari kejelasan tentang
sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Dan di dalam Islam, “tabayyun” sangat
ditekankan karena merupakan akhlak mulia dalam menjaga kemurnian ajaran Islam
dan keharmonisan dalam hubungan sosial. Lewat “tabayyun” ini, para siswa diajak
untuk melihat langsung kegiatan dari keyakinan yang berbeda dengan dirinya.
Hidup bersama (live in) keluarga dan masyarakat yang
berbeda dalam beberapa hari, diyakini memberikan dampak positif bagi para siswa
untuk mau menerima keberagaman secara sukarela. Kemudian para siswa merawat
keberagaman tersebut sebagai pondasi yang kuat untuk mempertahankan NKRI.
Pengalaman hidup bersama ini akan membuka hati dan
pikiran para siswa dan keluarga yang menjadi tuan rumah. Interaksi langsung
antara siswa dan keluarga akan membuat mereka melihat dengan jelas, bahwa kita
sebenarnya memiliki lebih banyak kemiripan dibandingkan perbedaan. Karena
itulah, tidak seharusnya perbedaan ini menjadi alat untuk berseteru dan
tercerai berai. Dan pada gilirannya nanti, mereka (para siswa) akan menjadi duta perdamaian di
lingkungan mereka.(*)
#sahabatkeluarga
No comments:
Post a Comment