Tuesday, August 14, 2018

Keberagaman Indonesia, Program Hidup Bersama dan Permendikbud 30/2017

PARA siswa peserta Seminggu Bersama Keluarga Kemenkeu (SBKK) dan Sabang Merauke berkumpul bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung BPPK, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (13/7/2018). 



MENTERI Keuangan, Sri Mulyani tampak tersenyum mendengarkan pengalaman sejumlah siswa SMP yang mengikuti program Seminggu Bersama Keluarga Kemenkeu (SBKK) dan Sabang Merauke di Gedung BPPK, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (13/7/2018). Program SBKK dan SabangMerauke adalah sebuah program hidup bersama (live in) keluarga yang berbeda keyakinan dengan siswa. Khusus untuk program SBKK, siswa yang berasal dari seluruh Indonesia ini tinggal bersama pejabat eselon I dan II Kemenkeu yang berbeda keyakinan.

Dikutip dari kumparan.com (Jumat, 13 Juli 2018), pengalaman seorang siswa yang membuat Sri tersenyum datang dari Iliyatul, seorang siswi asal Bulukumba, Sulawesi Selatan. Siswa kelas IX SMP yang beragama Islam itu menceritakan, sebelum mengikuti program SabangMerauke, dia percaya bahwa mendatangi gereja sama saja seperti dipaksa keluar agama Islam.

Selama mengikuti program tersebut, Iliyatul tinggal bersama pejabat Kemenkeu yang bernama Yustinus, seorang yang beragama Katolik. Dia mengaku sempat ragu untuk tinggal bersama keluarga yang bukan muslim. Saat itu Iliya diajak ke gereja untuk melihat bagaimana keluarga Yustinus menjalankan ibadahnya. Tapi setelah melihat sendiri, ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan Iliyatul. Keluarga Yustinus menjalankan ibadahnya seperti biasa. Ketakutan Iliyatul dulu tidak benar. Iliyatul pun mengetahui, tidak benar kalau ke gereja itu dipaksa keluar dari Islam.

SBKK merupakan program Kemenkeu yang bertujuan mendorong kesadaran persatuan dan kesatuan dalam jiwa anak muda. Hal ini dikarenakan sekarang ini banyak anak muda yang masih memetakkan suku, budaya, dan agama di Indonesia. Melalui program SBKK ini, Kemenkeu menjaring puluhan siswa SMP dari berbagai wilayah di Indonesia untuk tinggal di rumah pejabat Kemenkeu selama seminggu. Selama program berlangsung, mereka didampingi para "Kaka" yang merupakan mahasiswa PKN STAN.

Menurut Sri Mulyani, saat ini, untuk mencintai tanah air, amak muda perlu latihan dari sejak dini. Adapun latihan yang dilakukan adalah hidup bersama. Dengan hidup bersama keluarga yang berbeda kepercayaan dengan mereka, diharapkan para para siswa akan saling menghargai dan mencintai perbedaan, khususnya perbedaan keyakinan.

Menjaga Pondasi Keberagaman
Saat ini, persoalan radikalisme masih menjadi ancaman serius bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Persoalan radikalisme ini menjadi ancaman karena paham ini identik dengan kekerasan yang sering mengatasnamakan agama. Bukan sekali dua kali kita melihat praktik-paktik intoleran di negeri ini dan membuat kacau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang beragam.

ILUSTRASI keberagaman Indonesia.
FOTO: OKEZONE.COM
Sangat ironis, karena paham radikalisme telah merusak tatanan kehidupan sosial yang telah terbangun selama ini. Radikalisme telah merusak kerukunan antarumat beragama dan semangat gotong royong antarsesama pun dipermasalahkan.

Mereka menghendaki Indonesia menerapkan sistem khilafah, seperti yang telah dilakukan oleh ISIS di Suriah dan Irak. Padahal pendiri bangsa ini yang terdiri dari berbagai agama telah meneguhkan hati untuk menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang agung dan melindungi keberagaman bangsa dan negara dari Sabang sampai Merauke.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan harga mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Negara Indonesia dibangun di atas pondasi keberagaman mulai agama, etnis, dan budayanya dalam bentuk persatuan dan kesatuan. Pondasi keberagaman inilah yang kini diserang dengan berbagai cara.

Upaya-upaya melemahkan NKRI melalui penyerangan pondasi keberagaman ini tentu saja harus diwaspadai dan dilawan sejak dini. Menghargai keberagaman adalah kunci dari melawan upaya pelemahan NKRI ini. Jika melawan sejak dini, maka pelaku utama dalam hal ini adalah generasi muda mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA.

Satuan pendidikan atau sekolah menjadi tempat yang paling efektif untuk mendidik generasi muda agar menghargai keberagaman ini. Tapi melihat begitu kompleksnya tugas dan tanggungjawab sekolah, logiskah bila pekerjaan besar ini hanya dibebankan kepada sekolah saja? Jawabannya, TIDAK. Ada lembaga lain yang juga bertanggungjawab dalam hal ini yakni keluarga.

Peran Strategis Keluarga Melawan Radikalisme
Selama ini, keluarga sebagai lembaga nonformal di luar sekolah sudah mempunyai peran yang strategis dalam mendidik anak sebagai generasi penerus bangsa yang menghargai keberagaman, serta melawan radikalisme dan intoleransi. Mengutip dari https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=galery/infografis , ada beberapa trik bagi para orangtua untuk menangkal radikalisme dan intoleransi SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) pada anak dan remaja.

Trik tersebut antara lain: menanamkan nilai kebhinnekaan kepada anak-anak sebagai sesuatu kekuatan bangsa Indonesia di mata dunia. Contohnya memperkenalkan kekayaan budaya di negara Indonesia, adat istiadat, karakteristik agama yang dianut, busana daerah, bahasa daerah, rumah adat, dan sebagainya. Trik lainnya adalah merayakan hari besar budaya dan agama yang dianut. Melalui momen spesial ini, anak dapat diajarkan nilai-nilai luhur dari aktivitas perayaan hari besar agama dan etnis yang dianutnya. Begitupun anak perlu untuk menghormati hari besar budaya dan agama lain. Caranya adalah dengan membuat aktivitas prakarya kartu ucapan untuk diberikan kepada teman yang sedang merayakan.

Setahun belakangan, peran keluarga ini pun sudah dikuatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan.

Permendikbud ini terbit dengan latarbelakang bahwa pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan adalah hal penting dan strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal pelibatan keluarga dalam pendidikan, memerlukan pola kerjasama yang saling mendukung antara penyelenggara pendidikan, keluarga dan masyarakat.

Permendikbud ini diundangkan di Jakarta dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1378 oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham RI Widodo Ekatjahjana.

Lalu, dengan keberadaan Permendikbud dan pentingnya peran keluarga ini, solusi apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara pendidikan, keluarga, dan masyarakat jika dikaitkan dengan kerangka merawat keberagaman dan mempertahankan NKRI?
Solusinya adalah keluarga dan masyarakat harus terlibat secara langsung sebagai wadah yang mendidik siswa tentang keberagaman. Proses mendidik ini dapat dilakukan melalui program hidup bersama (live in) seperti yang telah dilakukan oeh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui program SBKK. Program SBKK milik Kemenkeu ini bukanlah satu-satu program hidup bersama yang mengajarkan pendidikan keberagaman bagi para siswa. Di Jakarta, ada program SabangMerauke

SabangMerauke adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi. Dalam program ini, siswa dari seluruh Indonesia akan tinggal dengan keluarga yang berbeda dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda. Setelah kembali ke daerahnya, mereka akan menjadi duta perdamaian di daerah masing-masing.

Kemudian di Sumatera Utara, ada Kursus Pendidikan Agama (KPA) yang diprakarsai oleh Jama’ah Muslim Ahmadiyah Medan. Program KPA ini merupakan program tabayyun ke tempat-tempat ibadah yang berbeda. Selain itu program ini juga berisi diskusi perbandingan agama dengan menghadirkan pemuka-pemuka agama. Tabayyun secara bahasa adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Dan di dalam Islam, “tabayyun” sangat ditekankan karena merupakan akhlak mulia dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam hubungan sosial. Lewat “tabayyun” ini, para siswa diajak untuk melihat langsung kegiatan dari keyakinan yang berbeda dengan dirinya.

Hidup bersama (live in) keluarga dan masyarakat yang berbeda dalam beberapa hari, diyakini memberikan dampak positif bagi para siswa untuk mau menerima keberagaman secara sukarela. Kemudian para siswa merawat keberagaman tersebut sebagai pondasi yang kuat untuk mempertahankan NKRI.

Pengalaman hidup bersama ini akan membuka hati dan pikiran para siswa dan keluarga yang menjadi tuan rumah. Interaksi langsung antara siswa dan keluarga akan membuat mereka melihat dengan jelas, bahwa kita sebenarnya memiliki lebih banyak kemiripan dibandingkan perbedaan. Karena itulah, tidak seharusnya perbedaan ini menjadi alat untuk berseteru dan tercerai berai. Dan pada gilirannya nanti, mereka (para  siswa) akan menjadi duta perdamaian di lingkungan mereka.(*)

#sahabatkeluarga
 


No comments:

Post a Comment