Wednesday, October 31, 2018

Meningkatkan Pendidikan Anak di Satuan Pendidikan

Ilustrasi Pendidikan Anak (pixabay.com)   
PENDIDIKAN merupakan suatu proses pembelajaran memberi latihan, ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran. Sejak berusia dini, manusia pada umumnya sudah diberikan didikan dimulai dalam keluarga. Didikan sederhana dari keluarga seperti cara berjalan, makan, berdoa dan masih banyak contoh sederhana lainnya. Senadanya pendidikan dimulai dari dalam keluarga atau disebut pendidikan informal kemudian dilanjut pendidikan formal di bangku sekolah dan hingga ruang lingkup masyarakat atau disebut pendidikan nonformal.
Sekolah merupakan wadah pendidikan formal bagi anak yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang terstruktur, sesuai kurikulum yang disahkan melalui Peraturan Kementrian Pedidikan dan Kebudayaan  (Permendikbud). Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan dijelaskan pada pasal 1 ayat (2) Pendidikan Formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Dalam dunia pendidikan peran sekolah merupakan yang signifikan terhadap perkembangan pengetahuan akademis anak, dikarenakan sekolah menjadi wadah utama pendidikan sebab disana ada tenaga pengajar yang khusus untuk mendidik anak.

 
Pada dasarnya tujuan pendidikan dalam keluarga (informal) adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan sedari kecil sedangkan pendidikan dalam masyarakat (non formal) lebih kepada mengajarkan sosial dan moral anak. Kendati demikian peran keluarga dan masyarakat tidak kalah penting dari peran sekolah dalam menambah ilmu pengetahuan sang anak. Kesadaran dan keaktifan keluarga dan masyarakat menjadi faktor terpenting guna mendorong kemampuan akademis maupun non akademis anak. Terkadang keluarga acuh tak acuh terhadap perkembangan pengetahuan anak sehingga menaruh sepenuhnya kepada pihak sekolah. Hal demikian kerap sekali terjadi di dalam keluarga sehingga anak kurang di perhatikan dan kurang didikan dari dalam rumah, akibatnya perilaku anak diluar tidak begitu baik.
Pendidikan dalam masyarakat (non formal) adalah pendidikan terstruktur diluar pendidikan formal namun lebih cenderung ditengah masyarakat. Sebagai contoh pendidikan non formal ialah kursus musik, Taman Pendidikan Al-Qur’an, sekolah minggu, bimbingan belajar dan sebagainya. Peran masyarakat tidak kalah penting dari peran keluarga dikarenakan manusia merupakan mahluk sosial dalam arti saling membutuhkan. Jiwa sosial anak yang tinggi akan menggambarkan bagaimana dia mengimplementasikan pengetahuannya ditengah masyarakat.
Sinergi Peran Keluarga dan Masyarakat
Memang beda sekali antara peran keluarga dan masyarakat untuk mendukung anak di satuan pendidikan. Tetapi sinergi keduanya dapat dioptimalkan sebagai senjata strategis mendukung pengetahuan akademis dan non akademis anak.  Dalam satuan pendidikan, sinergi antara peran keluarga dan masyarakat merupakan suatu penyatuan yang sangat penting sekali diterapkan. Mengingat anak lebih lama beraktivitas diluar sekolah sehingga pendidikan formal tidak terlalu efektif mengontrol karaketer anak tersebut.
Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 1 ayat (2) Komite sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Jelas sekali tertulis pada ayat tersebut bahwa peran keluarga dan masyarakat tidak terlepas dari satuan pendidikan. Maka sinergi keluarga dan masyarakat dapat terealisasikan melalui komite sekolah. Pendidikan formal di sekolah akan berjalan baik ketika ada peran masing-masing stakeholder yang merujuk pada pemaksimalan pendidikan anak di satuan pendidikan.
Meningkatkan mutu pelayanan pendidikan merupakan suatu komitmen berdasarkan prinsip gotong royong. Dalam hal ini sinergi keluarga dan masyarakat adalah yang dimaksud dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tersebut. Mutu pelayanan pendidikan tidak selamanya menjadi tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) pihak sekolah, karena sekolah juga terbatas dalam hal itu. Maka apa peran keluarga dan masyarakat dalam mutu pelayanan pendidikan?

 
Pertama peran keluarga, sebagai orang tua/wali tentunya berperan cukup efektif dalam mendukung satuan pendidikan/sekolah untuk memaksimalkan pendidikan terhadap anak. Contoh dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah memberikan kontribusi kepada pihak sekolah berupa sumbangsih pemikiran yang membangun melalui pertemuan orangtua/wali yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Keluarga juga turut berpartisipasi mendorong anak dalam kegiatan kokurikuler,ekstra kurikuler, dan kegiatan lain untuk pengembangan diri anak. Orangtua/wali juga harus bersedia menjadi komite sekolah dan mengambil peran sebagai pengontrol kebijakan sekolah supaya tidak ada penyimpangan. Selanjutnya keluarga turut ambil dalam pencegahan pornografi, pornoaksi, dan penyalagunaan narkoba, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Sebagian besar kesalahan orangtua/wali adalah masalah perhatian yang masih kurang terhadap anak sehingga anak mencari pergaulan bebas diluar yang dapat terjerumus kepada kehancuran.
Pelibatan keluarga pada lingkup keluarga adalah (1.) Menumbuhkan nilai-nilai karakter anak di lingkungan keluarga, (2.) Memotivasi semangat belajar anak, (3.) Mendorong budaya literasi, (4.) Menfasilitasi kebutuhan belajar anak. Didalam keluarga apabila sudah turut ambil terlebih dahulu sebagai lembaga yang sentral pada pendidikan anak maka sejatinya di satuan pendidikan mendidik anak akan lebih mudah.
Masyarakat merupakan gabungan dari keluarga yang sosial. Tidak lupa peran masyarakat juga cukup signifikan dalam mengontrol karakter anak dan peka terhadap satuan pendidikan anak. Dalam hal ini, peran masyarakat adalah mencegah peserta didik dari perbuatan yang melanggar peraturan satuan pendidikan dan yang menggangu ketertiban umum. Sebagai contoh peran tersebut adalah mencegah siswa untuk cabut atau bolos sekolah. Biasanya mereka akan bolos ke tempat penongkrongan, warnet, dan tempat hiburan lainnya. Maka sebagai masyarakat jangan di izinkan siswa yang masih jam sekolah atau masih menggunakan seragam walaupun sudah sepulang sekolah untuk bermain di tempat hiburan. Apabila hal itu terjadi, masyarakat harus menegur siswa tersebut atau melaporkan kepada pihak sekolah dan orangtua/wali apabila dikenal.
Selanjutnya, mencegah terjadinya perkelahian atau tindak anarkis yang melibatkan pelajar. Perkelahian dan tindak anarkis kerap sekali terjadi di tengah masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bentrok antar pelajar selalu meresahkan masyarakat dan membuat kerusakan fasilitas umum. Peran masyarakat dalam hal ini adalah mencegah hal tersebut terjadi dan melaporkan kejadian atau peristiwa kepada pihak yang berwenang.
Peran masing-masing sekolah, keluarga, dan masyarakat memang ada batasnya dalam meningkatkan pendidikan anak di satuan pendidikan. Keterbatasan itu kadang menjadi alasan untuk tidak begitu peduli mengenai perkembangan pendidikan anak. Maka, sudah saatnya kita ambil peran masing-masing tersebut, bersinergi satu sama lain dalam mendukung segala keterbatasan tersebut. Jika peran tersebut berjalan dengan baik niscayanya akan memotivasi anak di satuan pendidikan, sehingga anak dapat belajar dengan baik dan mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat demi kemajuan bersama. ***
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Santo Thomas Medan. Aktif di Komunitas Menulis Mahasiswa “Veritas” Unika Santo Thomas.

Tuesday, August 14, 2018

Keberagaman Indonesia, Program Hidup Bersama dan Permendikbud 30/2017

PARA siswa peserta Seminggu Bersama Keluarga Kemenkeu (SBKK) dan Sabang Merauke berkumpul bersama Menteri Keuangan, Sri Mulyani di Gedung BPPK, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (13/7/2018). 



MENTERI Keuangan, Sri Mulyani tampak tersenyum mendengarkan pengalaman sejumlah siswa SMP yang mengikuti program Seminggu Bersama Keluarga Kemenkeu (SBKK) dan Sabang Merauke di Gedung BPPK, Kemenkeu, Jakarta, Jumat (13/7/2018). Program SBKK dan SabangMerauke adalah sebuah program hidup bersama (live in) keluarga yang berbeda keyakinan dengan siswa. Khusus untuk program SBKK, siswa yang berasal dari seluruh Indonesia ini tinggal bersama pejabat eselon I dan II Kemenkeu yang berbeda keyakinan.

Dikutip dari kumparan.com (Jumat, 13 Juli 2018), pengalaman seorang siswa yang membuat Sri tersenyum datang dari Iliyatul, seorang siswi asal Bulukumba, Sulawesi Selatan. Siswa kelas IX SMP yang beragama Islam itu menceritakan, sebelum mengikuti program SabangMerauke, dia percaya bahwa mendatangi gereja sama saja seperti dipaksa keluar agama Islam.

Selama mengikuti program tersebut, Iliyatul tinggal bersama pejabat Kemenkeu yang bernama Yustinus, seorang yang beragama Katolik. Dia mengaku sempat ragu untuk tinggal bersama keluarga yang bukan muslim. Saat itu Iliya diajak ke gereja untuk melihat bagaimana keluarga Yustinus menjalankan ibadahnya. Tapi setelah melihat sendiri, ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan Iliyatul. Keluarga Yustinus menjalankan ibadahnya seperti biasa. Ketakutan Iliyatul dulu tidak benar. Iliyatul pun mengetahui, tidak benar kalau ke gereja itu dipaksa keluar dari Islam.

SBKK merupakan program Kemenkeu yang bertujuan mendorong kesadaran persatuan dan kesatuan dalam jiwa anak muda. Hal ini dikarenakan sekarang ini banyak anak muda yang masih memetakkan suku, budaya, dan agama di Indonesia. Melalui program SBKK ini, Kemenkeu menjaring puluhan siswa SMP dari berbagai wilayah di Indonesia untuk tinggal di rumah pejabat Kemenkeu selama seminggu. Selama program berlangsung, mereka didampingi para "Kaka" yang merupakan mahasiswa PKN STAN.

Menurut Sri Mulyani, saat ini, untuk mencintai tanah air, amak muda perlu latihan dari sejak dini. Adapun latihan yang dilakukan adalah hidup bersama. Dengan hidup bersama keluarga yang berbeda kepercayaan dengan mereka, diharapkan para para siswa akan saling menghargai dan mencintai perbedaan, khususnya perbedaan keyakinan.

Menjaga Pondasi Keberagaman
Saat ini, persoalan radikalisme masih menjadi ancaman serius bagi persatuan dan kesatuan Indonesia. Persoalan radikalisme ini menjadi ancaman karena paham ini identik dengan kekerasan yang sering mengatasnamakan agama. Bukan sekali dua kali kita melihat praktik-paktik intoleran di negeri ini dan membuat kacau sendi-sendi kehidupan masyarakat yang beragam.

ILUSTRASI keberagaman Indonesia.
FOTO: OKEZONE.COM
Sangat ironis, karena paham radikalisme telah merusak tatanan kehidupan sosial yang telah terbangun selama ini. Radikalisme telah merusak kerukunan antarumat beragama dan semangat gotong royong antarsesama pun dipermasalahkan.

Mereka menghendaki Indonesia menerapkan sistem khilafah, seperti yang telah dilakukan oleh ISIS di Suriah dan Irak. Padahal pendiri bangsa ini yang terdiri dari berbagai agama telah meneguhkan hati untuk menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang agung dan melindungi keberagaman bangsa dan negara dari Sabang sampai Merauke.
Berangkat dari pemahaman di atas, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan harga mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Negara Indonesia dibangun di atas pondasi keberagaman mulai agama, etnis, dan budayanya dalam bentuk persatuan dan kesatuan. Pondasi keberagaman inilah yang kini diserang dengan berbagai cara.

Upaya-upaya melemahkan NKRI melalui penyerangan pondasi keberagaman ini tentu saja harus diwaspadai dan dilawan sejak dini. Menghargai keberagaman adalah kunci dari melawan upaya pelemahan NKRI ini. Jika melawan sejak dini, maka pelaku utama dalam hal ini adalah generasi muda mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA.

Satuan pendidikan atau sekolah menjadi tempat yang paling efektif untuk mendidik generasi muda agar menghargai keberagaman ini. Tapi melihat begitu kompleksnya tugas dan tanggungjawab sekolah, logiskah bila pekerjaan besar ini hanya dibebankan kepada sekolah saja? Jawabannya, TIDAK. Ada lembaga lain yang juga bertanggungjawab dalam hal ini yakni keluarga.

Peran Strategis Keluarga Melawan Radikalisme
Selama ini, keluarga sebagai lembaga nonformal di luar sekolah sudah mempunyai peran yang strategis dalam mendidik anak sebagai generasi penerus bangsa yang menghargai keberagaman, serta melawan radikalisme dan intoleransi. Mengutip dari https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=galery/infografis , ada beberapa trik bagi para orangtua untuk menangkal radikalisme dan intoleransi SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) pada anak dan remaja.

Trik tersebut antara lain: menanamkan nilai kebhinnekaan kepada anak-anak sebagai sesuatu kekuatan bangsa Indonesia di mata dunia. Contohnya memperkenalkan kekayaan budaya di negara Indonesia, adat istiadat, karakteristik agama yang dianut, busana daerah, bahasa daerah, rumah adat, dan sebagainya. Trik lainnya adalah merayakan hari besar budaya dan agama yang dianut. Melalui momen spesial ini, anak dapat diajarkan nilai-nilai luhur dari aktivitas perayaan hari besar agama dan etnis yang dianutnya. Begitupun anak perlu untuk menghormati hari besar budaya dan agama lain. Caranya adalah dengan membuat aktivitas prakarya kartu ucapan untuk diberikan kepada teman yang sedang merayakan.

Setahun belakangan, peran keluarga ini pun sudah dikuatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan.

Permendikbud ini terbit dengan latarbelakang bahwa pelibatan keluarga dalam penyelenggaraan pendidikan adalah hal penting dan strategis dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal pelibatan keluarga dalam pendidikan, memerlukan pola kerjasama yang saling mendukung antara penyelenggara pendidikan, keluarga dan masyarakat.

Permendikbud ini diundangkan di Jakarta dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1378 oleh Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham RI Widodo Ekatjahjana.

Lalu, dengan keberadaan Permendikbud dan pentingnya peran keluarga ini, solusi apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara pendidikan, keluarga, dan masyarakat jika dikaitkan dengan kerangka merawat keberagaman dan mempertahankan NKRI?
Solusinya adalah keluarga dan masyarakat harus terlibat secara langsung sebagai wadah yang mendidik siswa tentang keberagaman. Proses mendidik ini dapat dilakukan melalui program hidup bersama (live in) seperti yang telah dilakukan oeh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui program SBKK. Program SBKK milik Kemenkeu ini bukanlah satu-satu program hidup bersama yang mengajarkan pendidikan keberagaman bagi para siswa. Di Jakarta, ada program SabangMerauke

SabangMerauke adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi. Dalam program ini, siswa dari seluruh Indonesia akan tinggal dengan keluarga yang berbeda dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda. Setelah kembali ke daerahnya, mereka akan menjadi duta perdamaian di daerah masing-masing.

Kemudian di Sumatera Utara, ada Kursus Pendidikan Agama (KPA) yang diprakarsai oleh Jama’ah Muslim Ahmadiyah Medan. Program KPA ini merupakan program tabayyun ke tempat-tempat ibadah yang berbeda. Selain itu program ini juga berisi diskusi perbandingan agama dengan menghadirkan pemuka-pemuka agama. Tabayyun secara bahasa adalah mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Dan di dalam Islam, “tabayyun” sangat ditekankan karena merupakan akhlak mulia dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam hubungan sosial. Lewat “tabayyun” ini, para siswa diajak untuk melihat langsung kegiatan dari keyakinan yang berbeda dengan dirinya.

Hidup bersama (live in) keluarga dan masyarakat yang berbeda dalam beberapa hari, diyakini memberikan dampak positif bagi para siswa untuk mau menerima keberagaman secara sukarela. Kemudian para siswa merawat keberagaman tersebut sebagai pondasi yang kuat untuk mempertahankan NKRI.

Pengalaman hidup bersama ini akan membuka hati dan pikiran para siswa dan keluarga yang menjadi tuan rumah. Interaksi langsung antara siswa dan keluarga akan membuat mereka melihat dengan jelas, bahwa kita sebenarnya memiliki lebih banyak kemiripan dibandingkan perbedaan. Karena itulah, tidak seharusnya perbedaan ini menjadi alat untuk berseteru dan tercerai berai. Dan pada gilirannya nanti, mereka (para  siswa) akan menjadi duta perdamaian di lingkungan mereka.(*)

#sahabatkeluarga